Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Senin, 21 Januari 2013

Hukum Berkebun Emas



Ketika saya browsing internet saya menemukan artikel yang sangat menggelitik, artinya dalam artikel ini menyangkut tentang investasi yang tidak asing lagi dalam masyarakat, meskipun tidak semua memahami hukumnya secara islam , investasi ini menjamur, banyak sekali yang “ikut andil” karena tergiur oleh laba yang menggiurkan , anda pasti penasaran investasi apa yang saya maksud ? mari kita simak tanya jawab sebagai berikut :

Tanya: Bismillah. Ustadz, saya mau tanya permasalahan muamalah. Saya mendapatkan tawaran dari sebuah bank syariah untuk investasi emas. Pihak bank tersebut menawarkan suatu cara investasi bahwa dengan modal Rp. 14 juta, maka saya bisa memperoleh 100 gr emas (padahal dengan asumsi harga emas 500 rb/gr seharusnya modal yang dikeluarkan adalah Rp. 50 juta, ternyata kata mereka saya cukup mengeluarkan dana Rp. 14 juta).
Mereka memberitahukan caranya: Saya datang ke bank, kemudian membeli 10 gr emas senilai Rp. 5 juta di bank tersebut. Setelah transaksi selesai, emas tersebut langsung saya gadaikan ke bank yang menjual emas itu, akan mendapat taksiran 80 % dari harga jual (sehingga saya akan mendapat dana Rp. 4 juta). Kemudian uang Rp. 4 juta itu saya tambahi dengan uang saya lagi Rp. 1 juta sehingga menjadi Rp. 5 juta. Lalu dengan uang 5 juta ini saya pakai untuk membeli emas lagi 10 gr. Kemudian emas itu saya gadaikan lagi (dengan taksiran 80 % ) sama seperti penggadaian yang tadi, sehingga saya mendapat dana lagi Rp. 4 juta. Begitulah seterusnya, saya membeli emas lalu saya gadaikan sampai 9 kali.
Jadi total uang yang saya keluarkan adalah Rp. 5 juta pembelian pertama dan 9 kali Rp. 1 juta uang tambahan setiap kali menggadai, sehingga totalnya Rp. 14 juta. Dan saya memiliki 10 batang emas 10 gr yang tergadaikan di bank tersebut. Untuk per 4 bulannya, pihak bank minta uang jasa titipan gadai sebesar 1,25 % dari nilai gadai (mereka namakan sebagai uang jasa titipan penyimpanan emas). Dengan harapan kenaikan harga emas adalah 25 % per tahun, maka setelah setahun 10 gr emas bernilai Rp. 6.250.000. Sedangkan dalam setahun saya mengeluarkan biaya 3,75 % dari nilai emas tersebut untuk membayar uang jasa titipan penyimpanan emas (yaitu 3,75 % x Rp. 5 juta = Rp. 187.500).
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum investasi dengan cara membeli lalu menggadai tersebut?
2. Apakah cara tersebut ada persamaan dengan bai’ul innah?
3. Apakah dalam menggadai barang itu dibenarkan ada uang jasa penitipan barang gadai?
Ana mohon jawaban Ustadz untuk menjelaskannya secara syar’i, apakah dengan mengakali atau memakai trik tersebut dibolehkan dalam Islam? Jazakumullahu khairan. (dari 087730064576)
GAMBAR EMAS BATANGAN

Dijawab oleh: Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Hafidzahullah
Pertanyaan muamalah, yang diterangkan oleh penanya, disebut oleh para pengembangnya dengan nama “Berkebun Emas”.
Produk “Berkebun Emas”, dengan bentuk yang tersebut oleh penanya, adalah hal yang diharamkan. Ada sejumlah kekeliruan dalam praktik tersebut.
Pertama: Adanya Praktik Riba Nasi’ah dengan Nama “Akad Gadai”
Praktik “Berkebun Emas” bukanlah bentuk sistem gadai (rahn) yang dikenal dalam syariat kita. Para ulama mendefinisikan gadai sebagai menguatkan utang dengan sejumlah barang, yang barang (atau nilai barang) tersebut akan digunakan untuk menutupi utang apabila utang tidak bisa dilunasi. [1]
Dari definisi di atas, tampak bahwa barang gadaian adalah suatu barang yang dapat dijual agar bisa menutupi uang yang tidak bisa dilunasi. Berbeda dengan praktik “Berkebun Emas”, tidak ada barang yang digadaikan dalam praktik tersebut.
Emas (yang diberikan kepada bank guna mengambil uang dari bank) bukanlah barang gadai karena memiliki kedudukan yang sama dengan mata uang, yang keduanya adalah alat tukar yang menjadi standar nilai. Jadi, hakikat transaksi “Berkebun Emas” ini adalah bahwa emas ditukar dengan uang untuk dikembalikan dalam jangka waktu yang telah disepakati.
Kemudian, perlu dimaklumi bahwa mata uang dan emas adalah barang ribawi, yaitu padanya berlaku hukum-hukum riba dalam penukaran. Sementara itu, di antara hukum dalam pembahasan riba adalah, bahwa apabila terjadi penukaran antara mata uang dan emas (berbeda jenis, tetapi sama dalam ‘illat riba), dipersyaratkan adanya saling tunai dan saling pegang secara keseluruhan sebagaimana dalam hadits Al-Bara’ dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang untuk menjual perak dengan emas secara berangsur.”
Emas dan perak adalah dua barang ribawi yang berbeda jenis, tetapi sama dalam ‘illat riba. Oleh karena itu, demikian pula, saat emas ditukar dengan uang yang hanya senilai 80 % dari harga emas tersebut, hal itu adalah penukaran yang tidak secara kontan, dan jelas tergolong sebagai riba nasi’ah.
Kedua, Menggabung antara Pinjaman dan Transaksi Jual Beli
Dari gambaran yang diterangkan oleh penanya, ada dua jenis transaksi jual beli yang dilakukan oleh bank:
1. Penyewaan tempat penitipan. Dimaklumi bahwa ijarah (penyewaan) adalah bagian dari jual beli karena ijarah adalah menjual manfaat.
2. Penjualan emas. Saat nasabah telah “menggadaikan” emas pertama kepada bank, pihak bank juga menjual emas kedua kepada nasabah. Kemudian, nasabah kembali “menggadaikan” dan membeli emas ketiga dari bank. Demikianlah seterusnya.
Poin kedua di atas mungkin saja tidak terjadi bila pihak bank mengizinkan nasabah untuk membeli emas kedua dari pihak ketiga selain bank.
Penggabungan antara pinjaman dan transaksi jual beli ini adalah hal yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berdasarkan sabdanya,
“Tidaklah halal ada peminjaman bersama transaksi jual beli.” [2]
Ketiga, Mengambil Manfaat dari Pinjaman
Dalam praktik “Berkebun Emas”, sangatlah tampak adanya pengambilan manfaat di belakang pinjaman yang diberikan. Dalam jawaban terhadap pertanyaan kedua, telah berlalu kaidah: “Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba.” Wallahu a’lam.
Pada akhir jawaban ini, saya perlu mengingatkan akan dua hal penting:
Pertama, pada masa ini, sangat banyak praktik manusia yang mengakal-akali hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan label “syari’ah”. Padahal, telah dimaklumi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan riba dan segala jalan yang mengantar kepada riba tersebut.
Kedua, dalam hukum rahn ‘gadai’, seseorang tidak diperkenankan untuk nemakai barang yang digadaikan karena hal tersebut merupakan bentuk mengambil manfaat dari pinjaman, sedang hal tersebut adalah riba.
Para ulama hanya memperbolehkan pemanfaatan barang gadaian yang berupa kendaraan yang memerlukan perawatan sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam,
“Hewan gadaian ditunggangi sesuai nafkahnya apabila berada dalam masa penggadaian. Perahan susu hewan gadaian diminum sesuai nafkahnya apabila (hewan) tersebut berada dalam masa penggadaian. Terhadap yang menunggangi dan meminum, ada kewajiban nafkah.” [3]
Tatkala memanfaatkan kendaraan (yang digadaikan) melebihi kadar biaya perawatan yang dia keluarkan, berarti dia telah berbuat riba. Wallahu a’lam.
Footnote:
[1] Demikian kesimpulan dalam buku-buku fiqih madzhab Empat dan selainnya.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasa’iy dan selainnya dengan sanad yang hasan dari Abdullah bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu. Bacalah Al-Irwa’ no. 1305 dan Ash-Shahihah no. 1212 yang keduanya adalah karya Syaikh Al-Albany.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar