Ketika saya browsing
internet saya menemukan artikel yang sangat menggelitik, artinya dalam artikel
ini menyangkut tentang investasi yang tidak asing lagi dalam masyarakat,
meskipun tidak semua memahami hukumnya secara islam , investasi ini menjamur,
banyak sekali yang “ikut andil” karena tergiur oleh laba yang menggiurkan ,
anda pasti penasaran investasi apa yang saya maksud ? mari kita simak tanya jawab
sebagai berikut :
Tanya: Bismillah.
Ustadz, saya mau tanya permasalahan muamalah. Saya mendapatkan tawaran dari
sebuah bank syariah untuk investasi emas. Pihak bank tersebut
menawarkan suatu cara investasi bahwa dengan modal Rp. 14 juta, maka saya bisa
memperoleh 100 gr emas (padahal dengan asumsi harga emas 500 rb/gr
seharusnya modal yang dikeluarkan adalah Rp. 50 juta, ternyata kata mereka saya
cukup mengeluarkan dana Rp. 14 juta).
Mereka memberitahukan caranya: Saya datang ke bank, kemudian membeli 10
gr emas senilai Rp. 5 juta di bank tersebut. Setelah transaksi selesai,
emas tersebut langsung saya gadaikan ke bank yang menjual emas
itu, akan mendapat taksiran 80 % dari harga jual (sehingga saya akan
mendapat dana Rp. 4 juta). Kemudian uang Rp. 4 juta itu saya tambahi dengan
uang saya lagi Rp. 1 juta sehingga menjadi Rp. 5 juta. Lalu dengan uang 5 juta
ini saya pakai untuk membeli emas lagi 10 gr. Kemudian emas itu saya gadaikan
lagi (dengan taksiran 80 % ) sama seperti penggadaian yang tadi, sehingga saya
mendapat dana lagi Rp. 4 juta. Begitulah seterusnya, saya membeli emas lalu
saya gadaikan sampai 9 kali.
Jadi total uang yang saya keluarkan adalah Rp. 5 juta pembelian pertama dan
9 kali Rp. 1 juta uang tambahan setiap kali menggadai, sehingga totalnya Rp. 14
juta. Dan saya memiliki 10 batang emas 10 gr yang tergadaikan di bank tersebut.
Untuk per 4 bulannya, pihak bank minta uang jasa titipan gadai sebesar 1,25 %
dari nilai gadai (mereka namakan sebagai uang jasa titipan penyimpanan
emas). Dengan harapan kenaikan harga emas adalah 25 % per tahun, maka setelah
setahun 10 gr emas bernilai Rp. 6.250.000. Sedangkan dalam setahun saya
mengeluarkan biaya 3,75 % dari nilai emas tersebut untuk membayar uang jasa
titipan penyimpanan emas (yaitu 3,75 % x Rp. 5 juta = Rp. 187.500).
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum investasi dengan cara membeli lalu menggadai tersebut?
1. Bagaimana hukum investasi dengan cara membeli lalu menggadai tersebut?
2. Apakah cara tersebut ada persamaan dengan bai’ul innah?
3. Apakah dalam menggadai barang itu dibenarkan ada uang jasa penitipan barang gadai?
3. Apakah dalam menggadai barang itu dibenarkan ada uang jasa penitipan barang gadai?
Ana mohon jawaban Ustadz untuk menjelaskannya secara syar’i, apakah dengan
mengakali atau memakai trik tersebut dibolehkan dalam Islam? Jazakumullahu
khairan. (dari 087730064576)
GAMBAR EMAS BATANGAN |
Dijawab oleh: Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Hafidzahullah
Pertanyaan muamalah, yang diterangkan oleh penanya, disebut oleh para
pengembangnya dengan nama “Berkebun Emas”.
Produk “Berkebun Emas”, dengan bentuk yang tersebut oleh penanya, adalah
hal yang diharamkan. Ada sejumlah kekeliruan dalam praktik tersebut.
Pertama: Adanya Praktik Riba Nasi’ah dengan Nama “Akad Gadai”
Praktik “Berkebun Emas” bukanlah bentuk sistem gadai (rahn) yang dikenal
dalam syariat kita. Para ulama mendefinisikan gadai sebagai menguatkan utang
dengan sejumlah barang, yang barang (atau nilai barang) tersebut akan digunakan
untuk menutupi utang apabila utang tidak bisa dilunasi. [1]
Dari definisi di atas, tampak bahwa barang gadaian adalah suatu barang yang
dapat dijual agar bisa menutupi uang yang tidak bisa dilunasi. Berbeda dengan
praktik “Berkebun Emas”, tidak ada barang yang digadaikan dalam praktik
tersebut.
Emas (yang diberikan kepada bank guna mengambil uang dari bank) bukanlah
barang gadai karena memiliki kedudukan yang sama dengan mata uang, yang
keduanya adalah alat tukar yang menjadi standar nilai. Jadi, hakikat transaksi
“Berkebun Emas” ini adalah bahwa emas ditukar dengan uang untuk
dikembalikan dalam jangka waktu yang telah disepakati.
Kemudian, perlu dimaklumi bahwa mata uang dan emas adalah barang ribawi,
yaitu padanya berlaku hukum-hukum riba dalam penukaran. Sementara itu, di
antara hukum dalam pembahasan riba adalah, bahwa apabila terjadi penukaran
antara mata uang dan emas (berbeda jenis, tetapi sama dalam ‘illat riba),
dipersyaratkan adanya saling tunai dan saling pegang secara keseluruhan
sebagaimana dalam hadits Al-Bara’ dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang untuk menjual perak
dengan emas secara berangsur.”
Emas dan perak adalah dua barang ribawi yang berbeda jenis, tetapi sama
dalam ‘illat riba. Oleh karena itu, demikian pula, saat emas ditukar dengan
uang yang hanya senilai 80 % dari harga emas tersebut, hal itu adalah penukaran
yang tidak secara kontan, dan jelas tergolong sebagai riba nasi’ah.
Kedua, Menggabung antara Pinjaman dan Transaksi Jual Beli
Dari gambaran
yang diterangkan oleh penanya, ada dua jenis transaksi jual beli yang dilakukan
oleh bank:
1. Penyewaan tempat penitipan. Dimaklumi bahwa ijarah (penyewaan) adalah
bagian dari jual beli karena ijarah adalah menjual manfaat.
2. Penjualan emas. Saat nasabah telah “menggadaikan” emas pertama kepada
bank, pihak bank juga menjual emas kedua kepada nasabah. Kemudian, nasabah
kembali “menggadaikan” dan membeli emas ketiga dari bank. Demikianlah
seterusnya.
Poin kedua di atas mungkin saja tidak terjadi bila pihak bank mengizinkan
nasabah untuk membeli emas kedua dari pihak ketiga selain bank.
Penggabungan antara pinjaman dan transaksi jual beli ini adalah hal yang
dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berdasarkan sabdanya,
“Tidaklah halal ada peminjaman bersama transaksi jual beli.” [2]
Ketiga, Mengambil Manfaat dari Pinjaman
Dalam praktik “Berkebun Emas”, sangatlah tampak adanya pengambilan manfaat
di belakang pinjaman yang diberikan. Dalam jawaban terhadap pertanyaan kedua,
telah berlalu kaidah: “Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba.”
Wallahu a’lam.
Pada akhir jawaban ini, saya perlu mengingatkan akan dua hal penting:
Pertama, pada masa
ini, sangat banyak praktik manusia yang mengakal-akali hal-hal yang diharamkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan label “syari’ah”. Padahal, telah
dimaklumi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan riba dan segala jalan
yang mengantar kepada riba tersebut.
Kedua, dalam
hukum rahn ‘gadai’, seseorang tidak diperkenankan untuk nemakai barang yang
digadaikan karena hal tersebut merupakan bentuk mengambil manfaat dari
pinjaman, sedang hal tersebut adalah riba.
Para ulama hanya memperbolehkan pemanfaatan barang gadaian yang berupa
kendaraan yang memerlukan perawatan sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam,
“Hewan gadaian ditunggangi sesuai nafkahnya apabila berada dalam masa
penggadaian. Perahan susu hewan gadaian diminum sesuai nafkahnya apabila
(hewan) tersebut berada dalam masa penggadaian. Terhadap yang menunggangi dan
meminum, ada kewajiban nafkah.” [3]
Tatkala memanfaatkan kendaraan (yang digadaikan) melebihi kadar biaya
perawatan yang dia keluarkan, berarti dia telah berbuat riba. Wallahu a’lam.
Footnote:
[1] Demikian kesimpulan dalam buku-buku fiqih madzhab Empat dan selainnya.
[1] Demikian kesimpulan dalam buku-buku fiqih madzhab Empat dan selainnya.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasa’iy dan
selainnya dengan sanad yang hasan dari Abdullah bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu.
Bacalah Al-Irwa’ no. 1305 dan Ash-Shahihah no. 1212 yang keduanya adalah karya
Syaikh Al-Albany.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar